Berjaya di dunia bisnis, hidup Sandiaga Uno kembali ke titik nol. Dari seorang pebinis yang menjulang, pada rimba raya politik dia menemukan dirinya bagai ‘anak bawang’. Tidak dikenal banyak orang dan katanya, “Ternyata saya tidak terlalu dihormati.”
Membenamkan masa mudanya di bisnis, hari-hari belakangan Sandiaga sibuk di arena politik. Duduk di kepengurusan Partai Gerindra, lalu bertarung dengan sejumlah kandidat merebut kursi Gubernur DKI pada Pilkada 2017. Politik disebutnya sebagai dunia baru, asing, tapi mulai diakrabi.
Lahir di Rumbai, Pekanbaru, 28 Juni 1969, jalan hidup Sandiaga Salahudin Uno bagai Pelangi. Darah Gorontalo mengalir di tubuhnya. Merasakan sebagai minoritas di Sekolah Dasar dan SMA Katolik, membuatnya kagum dengan apa yang kini diraih Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur DKI.
Pak Ahok, katanya, “Adalah inspirasi. Walaupun minoritas, kalau orangnya benar, bisa memimpin.”
Sandi adalah lulusan Wichita State University Amerika Serikat. Kemudian melanjutkan pendidikan di George Washington University di negeri yang sama, dengan predikat sangat memuaskan. Sempat bekerja pada perusahaan multinasional di Singapura dan Kanada, lalu kembali ke tanah air dan jitu membesut sejumlah perusahaan.
Sukses mengelola perusahaan, karirnya juga gemilang di sejumlah organisasi bisnis. Sandi pernah menjadi ketua umum HIPMI dan Ketua Komite Tetap Bidang Usaha Mikro dan Menengah di Kadin.
Dia mengelola 27 perusahaan dengan 50-an ribu karyawan, dan namanya sempat masuk daftar salah satu orang terkaya Indonesia. Saat bertamu ke kantor Kapanlagi Network (KLN), pekan lalu, dia berkisah panjang lebar bagaimana dia merakit bisnis, meraksasa, membenam diri di dunia politik, dan apa konsepnya tentang Jakarta.
Berikut petikan wawancaranya.
Siapa yang mempengaruhi Anda sehingga berpindah dari dunia bisnis dan masuk politik?
Tawaran itu datang dari Pak Prabowo. Saat itu beliau bilang bahwa kita adalah partai di luar pemerintahan. Gerindra ingin menjadi partai modern. Partai yang bisa menangkap aspirasi masyarakat dan menampung elemen-elemen kewirausahaan serta anak-anak muda. Dan saya diminta bergabung.
Jawaban Anda?
Saya punya jurus menolak. Saya bilang bahwa saya harus tanya keluarga dulu. Karena sebelumnya sudah ada ajakan serupa dua kali. Tidak jadi karena keluarga tidak memberi ijin.
Nah bulan April 2015 itu, saya minta izin kepada Ibu yang sebelumnya selalu menyarankan agar saya tidak bergabung dengan partai politik. Pagi-pagi saya datang ke rumah Ibu. Beliau tanya, “Ada apa nih. Mau tanya boleh nggak bergabung dengan partai politik?” Saya bilang, iya Mah, kok tahu? Ibu bilang, “Iya, tadi Pak Prabowo telepon saya dan saya izinkan. Hahaha.” Jadi sejak dapat izin dari Ibu itu, April 2015 saya bergabung dengan Partai Gerindra. Saya ditempatkan sebagai anggota Dewan Pembina.
Karena saya sudah memprediksi akan ada benturan kepentingan yang sangat luar biasa antara posisi saya di politik dengan dunia usaha, saya memutuskan mundur secara totalitas dari dunia usaha pada bulan Juni. Setidaknya saya menempati 18 posisi sebagai direktur, komisaris dan CEO di berbagai usaha.
Jadi selama delapan bulan terakhir ini, saya mengalami suatu fenomena transisi. Dari bisnis ke dunia politik. Biasa menjadi CEO yang lincah, saya tiba-tiba harus belajar politik, tentang public policy. Belajar tentang demokrasi, sistem demokrasi, lengkap dengan segala dinamikanya.
Saat bergabung, saya sama sekali tidak pernah berpikir tentang maju sebagai calon gubernur manapun apalagi DKI. Karena saya diminta Pak Prabowo untuk ikut membesarkan partai, membenahi governancenya, membenahi kinerja, menangkap aspirasi anak muda, menyentuh kantong-kantong woman voters dan lain-lain.
Sejak kapan mulai berpikir maju di DKI?
Waktu ketemu Pak Prabowo akhir tahun lalu, saya diminta mempertimbangkan untuk maju di Pilkada DKI. Saya minta waktu kepada beliau dua bulan untuk memikirkannya.
Lalu saya mempelajari, melakukan studi, berbicara dengan sejumlah tokoh, dan juga dengan konstituen.
Dari situlah saya tahu bahwa Jakarta ini sebenarnya on the right track dalam segi development progress khususnya di bidang governance, corruption, pembenahan birokrasi maupun pelayanan publik, dan pembangunan infrastruktur.
Namun ada sedikit suara-suara yang makin lama makin nyaring terdengar bahwa ada kekhawatiran khususnya perekonomian kelas menengah ke bawah.
Mereka khawatir soal ketersediaan lapangan kerja dan harga-harga kebutuhan pokok yang cenderung bergejolak, bahkan melambung tinggi. Kesenjangan yang mulai dirasakan antara the rich and the poor.
Itu mungkin yang kurang disentuh, yang mungkin bisa saya upayakan. Membuktikan bahwa Jakarta bisa lebih baik dan sejahtera.
Oleh karena itu saat bertemu lagi, saya bilang kepada Pak Prabowo, bismillah, saya mencoba ikhtiar ini, ikhlas saja. Kami sangat memahami bahwa kita punya incumbent governor yang populer, yang sangat-sangat dicintai rakyatnya. Angka-angka pencapaiannya sangat sangat wah, sangat spektakuler.
Tapi waktu saya memulai usaha bisnis, saya selalu all out. Dari hanya punya tiga karyawan, terus ditolak mentah-mentah oleh 10 hingga 15 klien pertama, tapi dengan rahmat dari Allah SWT kami bisa membangun usaha itu menjadi lebih dari 27 perusahaan dalam grup kami.
Jadi niat saya ikhlas. Saya maunya politik itu mempersatukan kita sebagai bangsa. Bukan politik pecah belah. Sudah saatnya politik ini dijadikan ajang silaturahim. Ajang untuk bertukar ide, solusi untuk Jakarta yang lebih baik.
Pekerjaan rumah terbesar saya dalam enam bulan ke depan adalah mensosialisasikan diri, pemikiran saya dan lain-lain. Mudah-mudahan diterima. Waktu menjadi CEO dan punya 27 perusahaan, Anda mungkin bisa mengontrol semuanya. Tapi menjadi gubernur DKI itu adalah memasuki sebuah dunia yang mungkin saja tidak sepenuhnya bisa dikontrol. Bagaimana Anda bisa
Yakin?
Waktu ditawari untuk maju Pilkada, I am very confused. Bukan my wish to be maju dan mengadangkan diri sendiri untuk maju. Tapi begitu saya masuk politik, saya siap diterjunkan dimana pun asalkan kita bisa memberi manfaat.
Waktu saya tanya Ibu, beliau bilang, “Sandi, sampai kapanpun kamu cari uang, itu nggak akan ada ujungnya. Akan terus-terusan. Tapi ada saatnya kamu harus mengabdi pada bangsa dan Negara.”
Ibu saya bilang bahwa sebagai pengusaha saya mungkin bisa menciptakan lapangan kerja, 50 ribu misalnya dan saya mungkin berdampak pada satu juta orang. Tapi di politik you have control a policy, kebijakan ini berdampak pada puluhan bahkan ratusan juta rakyat Indonesia.
Passion saya di ekonomi kerakyatan. Waktu di Kadin saya giat di UMKM. Mereka mengalami problem di akses financing, akses kepada SDM yang baik. Nah dengan “kebijakan” persoalan seperti itu mungkin bisa diselesaikan.
Permasalahan seperti saya ini, di mana seorang pebisnis masuk politik, juga dialami Pak Jokowi saat beliau mencalonkan diri sebagai wali kota Solo, atau Michael Bloomberg, yang dari dunia bisnis menjadi wali kota di New York. Jadi sudah ada contohnya.
Dalam enam bulan ke depan saya akan berusaha menangkap aspirasi dari rakyat dan warga khususnya di akar rumput. Apa yang mereka inginkan. Karena Pilkada 2017 itu is not about me, is not about gubernur Basuki, tapi is what about the people want. Jadi saya lebih fokus pada apa keinginan rakyat.
Jadi Anda maju ke Pilkada DKI karena dimita atau karena memang sudah ada kesiapan dari Anda. Artinya memang
Anda lama sudah siap?
We were never ready for anything we do. Saya dibukakan pintu oleh Gerindra. Kalau tidak diundang, saya juga tidak akan fokus untuk political contract. Saya harus memegang mandat dan kepercayaan dari partai ini. Sebagai pengusaha, saya sudah masuk di comfort zone.
Saya mengalami beberapa transformasi. Dari karyawan menjadi pengusaha. Jadi konsultan lalu menjadi investor yang lebih besar. Pada suatu titik itu, ya, transformasi ke pengabdian.
Calon gubernur dari kalangan pengusaha biasanya setor mahar. Anda juga begitu?
Sama sekali tidak ada. Prosesnya sangat transparan. Dibuka di depan media massa. Kami diminta melakukan sosialisasi selama enam bulan.
Melakukan gerakan pembagian susu, donor darah, ada gerakan penanaman pohon. Itu kontrak dengan partai yang diminta dilakukan enam bulan ke depan. Jadi tidak ada sama sekali pembicaraan mengenai mahar. Calon dari Gerindra itu cukup banyak. Ada putra almarhum Benyamin Sueb, lalu ada juga Ketua DPD (Dewan Pimpinan Daerah) Gerindra DKI, M Taufik, Anda dan beberapa nama lain.
Siapa yang paling dijagokan oleh partai?
Tidak ada yang dijagokan. Kami saling kolaborasi. Berlomba-lomba memberikan manfaat kepada rakyat, lalu pada suatu titik nanti dinilai oleh DPD dan DPP ( Dewan Pimpinan Pusat) Gerindra, siapa yang paling efektif dan siapa yang paling disukai oleh rakyat.
Sukses sebagai pengusaha, karyawan puluhan ribu, Anda tentu saja disanjung dan dihormati.
Apa yang berbeda setelah Anda masuk politik?
Yang pertama bahwa ternyata saya tidak terlalu dihormati, hahahaha. Kedua, saya ternyata tidak terlalu dikenal di dunia politik. Kalau saya datang di sebuah acara bisnis, banyak yang kenal saya. Tapi begitu datang ke acara politik, acara partai, ternyata tidak banyak yang kenal saya. Malah nggak ada yang kenal sama sekali dengan saya. Jadi saya mulai dari bawah. Di politik saya mulai dari nol. Membangun jaringan baru. Berkenalan dengan teman-teman daerah.
Di dunia usaha mungkin kita kenal semua para pengusaha, karena populasinya sedikit. Tapi di dunia politik harus ke akar rumput, yang memang betul-betul asing buat saya. Tapi ini kesempatan yang baik memperkenalkan diri.
Anda mulai enjoy di politik?
Ya, dijalankan saja. Ikhlas. Istri saya marah-marah karena jadi jarang di rumah. Anak-anak yang sekolah di luar negeri, hanya bisa saya pantau secara online. Ya, saya jelaskan juga kepada anak-anak. Salah satu syarat masuk ke dunia politik adalah harus siap.
Anda sempat berpikir untuk menggarap dan memajukan perempuan di Jakarta ini?
Kami punya program ‘Perempuan Hebat’ dan ‘Perempuan Mandiri.’ Karena ternyata tidak banyak perempuan yang dilibatkan sebagai pemain aktif dalam pembangunan ekonomi dan pembangunan keseluruhan.
Waktu bertemu dengan pemenang hadiah nobel, Profesor Muhammad Yunus, dia bilang begini kepada saya, “Sandi, just focus to woman.” Saya tanya kenapa? Kata beliau, “Karena 99 persen wanita yang pinjam uang akan kembalikan. Sementara hanya 60 persen laki-laki yang balikin pinjaman. Sisanya buat konsumsi, rokok, kawin lagi dan lain-lain.”
Biasanya yang dijual para calon Gubernur DKI adalah solusi terhadap dua masalah utama: macet dan banjir. Anda datang dengan isu ekonomi kelompok masyarakat bawah. Mengapa fokus ke situ?
Karena saya melihat bidang ekonomi sangat penting. Hari-hari belakangan ada kekhawatiran dari warga Jakarta tentang gelombang PHK, itu real dan ditandai dengan melemahnya SDA, industri migas dan lain-lain. Ada yang bilang bahwa ini mirip-mirip dengan situasi tahun 1997.
Tapi saya menangkap bahwa ini bukan sebuah krisis. Ini justru sebuah peluang, jika pemerintah bisa menjadi leader dalam menggabungkan semua pemangku kepentingan dan kita jemput bola. Kita bisa memberi pelatihan wirausaha kepada orang-orang yang mungkin kena PHK.
Soal kemacetan?
Masalah kemacetan dan banjir itu sudah menjadi bagian dari kehidupan Jakarta. Dan saya sangat mengapresiasi apa yang dilakukan pemerintah DKI sekarang. Kita ini defisit apresiasi. Kita mengeluh dan nyalahin pemerintah. Dari yang saya tangkap, mungkin datanya bisa disurvei, masyarakat sudah tidak menyalahkan pemerintah dalam soal banjir dan kemacetan. Ini sudah menjadi bagian dari kehidupan di Jakarta. Kita bisa menyelesaikan masalah kemacetan dengan teknologi dan disiplin dengan transportasi publik.
Banjir itu karena salah kita juga. Buang sampah sembarangan, padahal sampah bisa dijadikan energi. Sampah bisa dijadikan bisnis recycling yang sangat baik. Banyak temen-teman di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) yang bisnisnya dari sampah. Banjir itu tanggungjawab kita juga, bukan hanya pemerintah.
Saya akan menerapkan pola partisipatif. Merangkul para komunitas untuk mengubah mindset kita bahwa mengatasi banjir bukan hanya top down tapi bottom up approach. Nanti dirangkul semua, ada komunitas pecinta sungai, ada juga komunitas clean up jakarta day.
Pertumbuhan jumlah kendaraan di Jakarta sekitar 12 persen setahun atau sekitar 6000 kendaraan per hari, sementara pertumbuhan ruas jalan cuma 0.01 persen. Anda merasa perlu memulai dari angka-angka itu demi mengatasi kemacetan?
Kalau kita cari-cari angka idealnya mungkin tidak akan ketemu. Susah juga mau nahan jumlah kendaraan. Punya mobil itu hak asasi rakyat. Yang bisa kita lakukan adalah membangun moda transportasi umum yang menjadi bagian dari keseharian kita.
Saya ini suka olahraga lari, marathon. Sebagai sebuah kota besar, kita harus bangun pedestarian yang lebih baik. Tadi saya ke sini jalan kaki karena macet dari pojok, kalau pedestariannya dibangun dengan bagus, 15 menit kok jalan dari kuningan kesini.
Anda datang dari dunia bisnis, bolehlah disebut sebagai kandidat gubernur yang paling wangi dengan ribuan karyawan yang mungkin mudah dikendalikan. Agak sudah membayangkan, apa yang akan Anda lalukan dengan kawasan rural di Jakarta. Susah membayangkan Anda bisa tuntaskan keruwetan Kalijodo. Resep Anda untuk persoalan seperti ini?
Seorang pengusaha yang sukses itu tidak akan ada di posisinya tanpa ada ketegasan. Membangun usaha itu tidak mudah. Ada keputusan-keputusan penting yang harus kita ambil. Waktu membangun tol Cikopo, di mana jalan tersebut dari zaman Pak Harto tidak jadi-jadi, kami mengambil keputusan yang sangat tegas.
Walau didemo habis-habisan, kalau kita tegas, dan terutama kalau kita sentuh hati mereka bahwa ini demi pembangunan nasional, serta mereka akan menikmati hasilnya, rakyat pasti mengerti.
Mungkin banyak kandidat lain yang menentang apa yang dilakukan Pak Ahok di Kalijodo, tapi saya dukung 100 persen. Tapi saya sangat jatuh cinta dengan apa yang dilakukan oleh Pak Jokowi di Solo. Mungkin beberapa orang di sana perlu diundang, diajak ngobrol dan disentuh hatinya.
Percaya sama saya, iris kuping saya, tidak ada orang yang mau tinggal di daerah situ kok. Tidak akan ada Ibu yang rela anaknya masuk prostitusi. Kalau ada kesempatan lain, lapangan pekerjaan yang lain, pasti akan mau pindah. Di Solo sukses, Bu Risma di Surabaya juga sukses.Ahok, seperti halnya Risma dan Widwan Kamil, dianggap sukses mendisiplikan birokasi.
Anda punya solusi lain soal birokrasi ini?
Memang perlu suatu big bang seperti yang dilakukan pemerintah DKI sekarang. Ada direction yang lebih jelas dan baik. Hanya memang pada satu titik big bang itu tidak bisa terus-terusan. Orang itu kalau dipukulin terus, dia tidak akan punya insentif.
Yang bagus diberi insetif, yang kurang bagus harus diberi motivasi. Saya percaya tidak tidak semua PNS jelek, mungkin mayoritas 80 hingga 90 persen adalah orang baik.
Ada rencana mau ke Kalijodo? Sejumlah kandidat udah datang. Ahmad Dhani sudah?
Terus terang saya mau tampil apa adanya. Saya ini dianggap bagian dari elite. Saya tidak mau tiba-tiba naik kijang, tiba-tiba peduli dengan Kalijodo dan lain-lain. Nanti orang akan bilang, Sandi kan dari dulu-dulunya tidak pernah kesana. Kalau memang solusi pemerintah DKI sudah bagus, saya tidak mau membuat situasinya menjadi keruh, kegaduhan, dengan hadir di sana.
Nanti orang bilang, ini kan hanya untuk pencitraan. Kalau saya ke sana, kesannya dibuat-buat gitu lho. Saya akan tampil apa adanya. Kalau soal UMKM dan ketersediaan lapangan kerja itu passion saya.
Jadi Anda sadar bahwa kandidat yang ke sana itu untuk pencitraan?
Tapi kalau kayak Pak Ahmad Dhani kan sudah populer banget gitu lho, saya kan tidak.
Kalau jadi gubernur adakah yang pantas diteruskan dari programnya Ahok?
Gerakan anti korupsi, pembenahan birokrasi, pelayanan publik sudah sangat bagus jaman Pak Ahok. Saya Muslim, tapi SD dan SMA di sekolah Katolik, saya merasakan sebagai minoritas di situ. Saat tinggal di luar negeri juga begitu.
Ahok adalah inspirasi bahwa walaupun dia dari golongan minoritas, kalau orangnya bener, bisa memimpin. Itu yang sangat layak kita apresiasi. Yang kurang bisa kita tambahkan, masalah ekonomi, penyediaan lapangan kerja. Saya berharap bisa memberi solusi yang lebih baik di situ. Sesuai dengan bidang saya.
Kalau kebalikannya? Apa yang tidak pantas diteruskan dari Ahok?
Saya diajari ibu saya begini, if you have nothing good to say about the person, please take quit. Mungkin itu nggak cocok buat politisi, tapi kalau saya mungubah ajaran ibu saya, kok pencitraan banget gitu lho.
Kerap kali kalau ada calon yang ganteng, pasti akan lebih heboh. Di sosial media juga kerap kali Anda dipuji soal ini. Mau ekspos habisan-habisan kelebihan itu?
Saya harus hati-hati jawab soal ini, ada kawan istri saya di sini, hahahaha. Ada sih yang bilang, “Loe harus bisa pake baju yang lebih ketat. Badan loe itu keren. Pake batik itu nggak ada yang tahu kalau loe olahraga segala macem.” Tapi saya comfortablenya, ya pakai batik. Mudah mudahan muka saya nggak merah menjawab pertanyaan ini, hahaha.